PT Karya Mas Energi menawarkan kemudahan bagi pelaku bisnis indutri pabrik kelapa sawit yang berminat menjajaki proyek biogas. Menggabungkan teknologi dan produk yang mempermudah kegiatan pengolahan limbah menjadi sumber tenaga listrik.
Sebagai negara produsen terbesar CPO di dunia, Indonesia memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan non pangan di dalam maupun luar energi. Di sektor pangan, produk turunan sawit berkontribusi sebagai bahan baku minyak goreng, margarin, dan vegetable ghee. Sedangkan untuk produk non pangan, minyak sawit telah diolah untuk menjadi bahan pendukung dari kosmetik, farmasi, dan bahan bakar.
Kekurangan suplai energi listrik yang terjadi di Indonesia mengakibatkan munculnya berbagai macam permasalahan di daerah seperti terganggunya aktivitas sosial ekonomi dan kerugian pelaku bisnis. Padahal, CPO yang dihasilkan pabrik kelapa sawit juga menghasilkan limbah cair yang berpotensi menjadi sumber energi listrik.
Yudhistira Wiryawan, Direktur PT Karya Mas Energi, mengatakan limbah cair (POME) mengandung banyak bahan organik yang dapat dikonversi menjadi gas metana sehingga sangat potensial dijadikan bahan bakar pembangkit listrik. Proses ini bisa dilakukan melalui pabrik biogas yang berlokasi di perkebunan sawit. Peluang biogas berbasis sawit sangatlah tinggi karena jumlah pabrik kelapa sawit di Indonesia mencapai 800 unit terutama ditujukan untuk membantu pemenuhan suplai listrik.
Asumsinya, satu unit pabrik kelapa sawit dapat menghasilkan satu megawatt (MW) listrik. Ini berarti, potensi total tenaga pembangkit listrik biogas mencapai 800 MW. “Biogas ini akan membantu pemerintah untuk mencapai kemandirian dan jaminan energi,” ujarnya.
Peluang inilah yang dibaca PT Karya Mas Energi sebagai project developer biogas. Yudhistira Wiryawan mengatakan perusahaannya bukanlah semata-semata kontraktor pabrik biogas saja namun dapat memberikan layanan yang lebih komprehensif dalam pengembangan proyek pembangkit listrik tenaga biogas. Dari mulai konversi limbah organic menjadi biogas, pemanfaatan biogas untuk bahan bakar pembangkit hingga ke pemanfaatan energi listrik yang dihasilkan. Selain itu, PT Karya Mas Energi juga mampu memberikan konsultasi mengenai pasar karbon dan konsultasi tentang perizinan serta pengurusan kontrak jual beli listrik dengan pihak PLN.
Di Indonesia, PT Karya Mas Energi sudah menyelesaikan satu unit proyek pabrik biogas yang bekerjasama dengan PT. Perkebunan Nusantara (PT. PN) V berlokasi di Tandun, Riau. Pabrik berkapasitas 1 MW menggunakan mekanisme Build Operate and Transfer. Limbah cair yang menjadi bahan baku berasal dari pabrik kelapa sawit berkapasitas 35 ton TBS per jam. Teknologi pemrosesan limbah menjadi listrik menggunakan sistem capped anaerobic pond atau dikenal dengan nama covered lagoon. Kapasitas pengolahan pabrik yang sebesar 35 ton per jam berpotensi memproduksi biogas sekitar 600 m3 per jam atau setara dengan 5.044 MJ/jam , sehingga akan diperoleh listrik bertenaga sekitar 1 MW.
“Memang teknologi yang dipakai masih dari negara lain seperti Malaysia dan Eropa, karena disana biogas sudah berkembang lebih maju, walau untuk fabrikasi equipment dan material sudah ada sebagian yang lokal. Namun, ke depan kami mengharapkan terjadi transfer teknologi pula,” ujarnya.
Yudhistira Wiryawan menjelaskan pabrik biogas ini butuh lahan kurang lebih satu hektar yang dilengkapi dengan kolam penampungan dan fasilitas produksi tenaga listrik. Kolam ini berukuran 50 x 110 meter yang dapat menampung 27 ribu meter kubik limbah cair dan kurang lebih dapat menampung sebanyak 24-27 ribu meter kubik biogas.
Kolam anaerobik menggunakan HDPE membrane yang memiliki fleksibilitas tinggi dan pengaturan suhu sehingga membantu bakteri tumbuh. Sistem ini juga bermanfaat sebagai tempat penyimpanan gas yang cukup besar dan memudahkan penyimpanan sewaktu pembangkit listrik dalam keadaan idle.
“Pabrik biogas ini bergantung kepada kebutuhan konsumen karena perusahaan membantu sedari awal mulai audit limbah dan pola produksinya. Dari situ, kami tahu potensi tenaga listrik dari limbah yang dihasilkan tanpa mengubah aktivitas pabrik,” paparnya.
Dalam satu pabrik biogas dibutuhkan 8 tenaga kerja sebagai operator dengan dua shift ditambah satu kepala pabrik. Karena semua sistem otomatis, ujar Yudhistira, maka pengoperasian pabrik lebih mudah karena pekerja cukup monitoring saja apakah parameter sesuai dengan arahan yang diberikan.
Pembangkit biogas listrik berkekuatan 1 MW memerlukan investasi sebesar US$ 2,5 juta-US$ 3 juta sesuai dengan kebutuhan proyek. Pengerjaan pabrik biogas diperkirakan 10-12 bulan yang bergantung kepada lokasinya.
Walaupun investasinya terlihat besar, return yang diberikan pembangkit ini lebih besar. Dalam pandangan Yudhistira Wiryawan, ada dua opsi return bagi konsumen yaitu menjual listrik kepada PT PLN dan dipakai untuk internal. Apabila, pembangkit listrik biogas ini menggantikan bahan bakar diesel tingkat efisiensi lebih tinggi karena biaya produksi biogas ini sebesar Rp 200 per kWh. Sedangkan, pemakaian minyak diesel untuk energi listrik di pabrik menghabiskan biaya Rp 3.000 per kWh.
Opsi lain adalah listrik dijual listrik ke PLN. Sekarang ini, harga rata-rata pembelian listrik oleh PLN sekitar Rp 975 per Kwh di Sumatera dan di Kalimantan mencapai Rp 1.170 per Kwh di Kalimantan.
Dalam hal perawatan, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan pabrik biogas antara lain PH, temperatur, dan komposisi biogas. Faktor inilah yang memberikan informasi kepada user bagaimana kondisi reaktor apakah sedang sehat atau sakit. Pengguna diminta memperhatikan kualitas metan yang standarnya antara 55%-60% setelah treatment untuk menghilangkan kandungan sulfur dan menurunkan kadar kelembaban.
Yudhistira mengatakan pengolahan limbah melalui biogas akan lebih baik bagi lingkungan dan terjamin faktor keamanannya. Selain itu, keuntungan finansial diperoleh karena terjadi subtitusi kepada biogas. “Kalau tadinya limbah cair ini menjadi sumber pengeluaran malahan berubah sebagai sumber pemasukan kepada perusahaan kelapa sawit jika dikelola dengan baik,” ujarnya.
Yudhistira Wiryawan optimis proyek biogas akan berkembang pesat di masa mendatang karena pengelolaan lingkungan sudah menjadi tuntutan pemerintah dan masyarakat. Dengan hadirnya sertifikat ISPO dan ISCC yang salah satunya menjadi syarat perdagangan global. Pengembangan biogas ini dapat pula diperoleh dari limbah tanaman perkebunan, tanaman pangan, dan peternakan. (Qayuum Amri)