JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Di tengah hiruk-pikuk isu keberlanjutan, perubahan iklim dan ketertelusuran yang menjadi tantangan industri sawit saat ini, PT Austindo Nusantara Jaya Tbk. (ANJ) sudah jauh-jauh hari mempraktekannya. Emiten berkode “ANJT” di bursa itu kini sudah mampu mengurangi pupuk kimia hingga 50 persen dan mengolah limbah sawit menjadi energi terbarukan berkat inovasi-inovasinya.
Direktur Utama PT Austindo Nusantara Jaya Tbk. (ANJ), Lucas Kurniawan mengatakan perusahaan agrbisnis berbasis pangan ini memang tidak secara instan mampu melakukan transformasi menuju perusahaan yang ramah lingkungan. Perlu usaha keras bertahun-tahun sebelum inovasi tersebut berhasil.
“Dalam perjalanan pengembangan inovasi, kami menemukan banyak suka dukanya, meski sekarang mungkin banyak dilihat suksesnya. Penelitian dan pengembangan dimulai sejak 2015, namun pada tahun 2019 kami temukan “resep-resep” yang tepat untuk diaplikasikan di perkebunan kami yang memiliki karakteristik tanah yang berbeda-beda. Misalnya adalah pengganti pupuk anorganik. Berkat dukungan tim riset dan pengembangan kami, pemakaian pupuk kimia di kebun perusahaan dapat berkurang 40-50 persen,” ujar Lucas dalam acara “Shell ExpertConnect 2023: Driving Innovation to Maximize Productivity In Agruculture” di The Dharmawangsa Hotel, Jakarta Selatan, Kamis (19/10/2023). Acara ini juga turut didukung oleh Majalah Sawit Indonesia.
Lucas menambahkan, inovasi lainnya yang telah dilakukan ANJ, yaitu pemanfaatan limbah cair pabrik kelapa sawit (POME) untuk energi listrik. Saat ini, menurut dia, melalui anak usaha yang berada di Pulau Belitung, ANJ telah mengoperasikan Pembangkit Listrik Independen (IPP) yang memanfaatkan biogas untuk menghasilkan tenaga listrik, yang kemudian dijual ke PLN di Pulau Belitung untuk kemudian disalurkan ke masyarakat.
“Kami mempertimbangkan soal dampak lingkungan, meski belum ada hiruk-pikuk isu lingkungan. Bicara profit memang tidak menarik, karena tipis,” ucapnya.
Selain itu, Lucas juga mengungkapkan pihaknya juga telah melakukan berbagai efisiensi dengan memanfaatkan teknologi terkini, terutama di untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas di kebun. Misalnya, pemanfaat gadget untuk pelaporan produksi sawit dan edamame, serta untuk mendeteksi titik api.
“Mulai dari tahun 2019, kami sudah mengurangi penggunaan kertas dan kami mengembangkan dengan aplikasi sendiri, yaitu ePMS (Electronic Plantation Mobile) dan eTIS (Electronic Traceability Information System). Inovasi tersebut memudahkan perekaman langsung dan entri data tunggal untuk membantu kami di internal, serta pihak eksternal, seperti petani mandiri, penyalur, serta pemasok tandan buah segar (TBS) untuk mengumpulkan serta melaporkan data ketertelusuran,” jelas Lucas.
“Tantangan utama itu tenaga kerja di industri agribisnis, saat ini kami mengembangkan tranformasi teknologi digital untuk menarik para generasi muda dalam membangun industri agribisnis, serta meningkatkan daya saing. Adapun salah satu teknologi digital yang kami gunakan seperti, optimalisasi drone,atau pesawat udara tanpa awak, pemanfaatan metode pengindraan jauh, lalu kami juga mulai penjajakan untuk penggunaaan Artificial Intelligent [AI],” sambungnya.
Lucas juga mengungkapkan penggunaan teknologi dalam hal ini aplikasi, memudahkan juga pihaknya bisa lebih jauh mengembangkan aspek ketertelusuran (traceability). Ketertelusuran merupakan langkah pertama untuk memastikan rantai pasokan yang berkelanjutan. TBS yang diolah di pabrik pengolahan ANJ bersumber dari kebun inti, kebun petani plasma, serta pemasok pihak ketiga.
“Itu mampu menjaga integritas buah sawit yang kami proses dari luar kebun inti, itu berasal dari areal-areal yang bisa dipertanggungjawabkan. Lebih dari itu bisa meningkatkan keterikatan, komunikasi atau diskusi-diskusi dengan petani independen tersebut,” ujar Lucas.
Meski demikian, dia menuturkan yang pihaknya rasakan, yaitu mengenai mekanisasi dalam perkebunan sawit. Pasalnya, karakter areal kebun di Indonesia ini sangat berbeda-beda tiap antar daerah.
“Karena mekanisasi itu dibutuhkan, namun belum banyak digunakan terutama di industri sawit. Ada digunakan tapi hanya spot-spot tertentu saja, tidak seperti kedelai. Karena perlunya biaya pemeliharaan,” pungkas Lucas.